July 31, 2016

Bacaan Rukuk dan Sujud Rasululloh

Sifat Sholat Rasululloh shollollohu'alayhi wasallam


BACAAN SAAT RUKUK DAN SUJUD

و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ
Artinya:
Dan telah menceritakan kepadaku Hasan bin Ali al-Hulwani dan Muhammad bin Rafi' keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Atha', 'Apa yang kamu baca ketika sedang rukuk? ' Dia menjawab, "Subhaanaka Wa Bihamdika La Ilaha Illa Anta (Mahasuci Engkau dan dengan memujiMu, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau)." Lalu Ibnu Abi Mulaikah juga mengkabarkan kepadaku dari 'Aisyah, dia berkata, "Suatu malam aku pernah kehilangan Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, dan aku mengira bahwa beliau pergi kepada beberapa isteri beliau yang lain, aku pun mencari-cari beliau, dan ketika kembali ternyata beliau sedang rukuk atau sujud dan membaca, "Subhaanaka Wa Bihamdika Laa Ilaaha Illaa Anta". Maka akupun berkata, "Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, sungguh aku berada pada satu perkara, sedangkan kamu berada pada perkara yang lain'."
[Syarah Shahih Muslim No. 485; dan Nasa'i No.1119]

PERBEDAAN BACAAN DO'A SHOLAT JENAZAH ANTARA  LAKI-LAKI, PEREMPUAN DENGAN ANAK KECIL

PERBEDAAN  BACAAN DO'A SHOLAT JENAZAH ANTARA  LAKI-LAKI, PEREMPUAN DENGAN ANAK KECIL

By: SOBAT MUSLIM

 *Tata Cara Sholat Jenazah  (Menshalatkan Mayit)*


Fatwa Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Soal:
Bagaimana tata cara menyalatkan mayit?
Jawab:
Urutan tata cara menyalatkan mayit :
✅1. Melakukan takbiratul ihram (takbir pertama).
✅2. Tanpa perlu membaca istiftah langsung berta’aawudz (أَعُوّْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) dan membaca basmalah.
✅3. Diikuti dengan bacaan Al-Fatihah.
✅4. Melakukan takbir kedua dan diikuti dengan ucapan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal shalawat yang dibaca pada tasyahud akhir dalam shalat fardhu.
✅5. Melakukan takbir ketiga dan mendoakan si mayit dengan doa-doa yang terdapat dalam hadits-hadits yang shahih.(*)
✅6. Selepas berdoa kemudian melakukan takbir terakhir (takbir keempat), berhenti sejenak, lalu salam ke arah kanan dengan satu kali salam.

Di antara bentuk doa-doa tersebut adalah:

*JENAZAH  LAKI-LAKI*
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الذُّنُوبِ والْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّار, وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، ونَوِّرْ لَهُ فِيهِ
*_“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah dia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah dia dengan air, es, dan embun. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, isteri yang lebih baik dari isterinya. Masukkanlah dia ke dalam surga, lindungilah dari azab kubur dan azab neraka. Lapangkanlah baginya dalam kuburnya dan terangilah dia di dalamnya.”_* (HR. Muslim)

*JENAZAH  PEREMPUAN*
Jika yang dishalatkan itu mayit perempuan, orang yang shalat mengucapkan,
*اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا*
Yaitu dengan mengubah semua dhamir-nya menjadi dhamir muannats (kata ganti jenis perempuan).

*JENAZAH  ANAK KECIL*
Adapun bila yang dishalatkan itu anak kecil, doa yang dibaca yaitu,
اللّهُمَّ اجْعَلْهُ لِوَالِدَيْهِ فَرَطًا وَأَجْرًا وشَفِيعًا مُجَابًا‏
*_“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai simpanan, pahala, dan sebagai syafaat yang mustajab untuk kedua orang tuanya.”_* (HR. Al-Bukhari)
اللَّهُمَّ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا، وَأَعْظِمْ بِهِ أُجُورَهُمَا، وَأَلْحِقْهُ بِصَالِحِ سَلَفِ الْمُؤْمِنِينَ، وَاجْعَلْهُ فِي كَفَالَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَقِهِ بِرَحْمَتِكَ عَذَابَ الْجَحِيمِ‏
“Ya Allah, perberatlah karenanya timbangan kebaikan kedua orang tuanya, perbanyaklah pahala kedua orang tuanya, dan kumpulkanlah dia bersama orang-orang shalih terdahulu dari kalangan orang yang beriman, masukkanlah dia dalam pengasuhan Ibrahim, dan dengan rahmat-Mu, peliharalah dia dari siksa neraka Jahim.”
================================================================
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/7086?ref=p-top
Penerjemah: Verawaty Lihawa (Ummu Ruman)
Murojaah: Ustadz Abu Hatim Sigit
Artikel Muslimah.Or.Id

☀☀ *TATA CARA MENSHALATKAN JENAZAH* ☀☀
 *Keutamaan Menshalatkan Jenazah*
Diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan: *Rasulullah* _shallallahu ‘alaihi wassalam_:
*_“Barangsiapa yang menghadiri jenazah, hingga jenazah itu dishalatkan , maka ia mendapat pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang menghadiri jenazah hingga dikuburkan, maka ia mendapat dua qirath. Ada yang bertanya: “Seperti apa dua qirath itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Seperti dua gunung yang besar.”_* (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
 *Hukum Shalat Jenazah*
Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada sebagian dari kaum muslimin yang mengerjakannya, maka gugur dosa dari sebagian kaum muslimin yang lainnya. Jadi bagi sebagian kaum muslimin yang lain mengerjakannya adalah sunnah. Sedangkan apabila semuanya tidak mengerjakan, maka mereka semuanya be
rdosa.
✳ *Syarat-syaratnya:*
1. Niat
2. Menghadap kiblat
3. Menutup aurat
4. Orang yang mengerjakan dalam keadaan suci
5. Menjauhi najis
6. Yang menshalatkan maupun yang dishalatkan harus beragama Islam
7. Menghadiri jenazah tersebut apabila jenazah itu berada di dalam negerinya
8. Orang yang menshalatkan adalah orang yang mukallaf
 *Rukun-rukunnya:*
✔1. Berdiri di dalam shalat jenazah itu
✔2. Melakukan takbir yang empat
✔3. Membaca surat Al Fatihah
✔4. Mendoakan shalawat atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam
✔5. Mendoakan jenazah tersebut
✔6. Tertib
✔7. Salam
 *Sunnah-sunnahnya:*
☑1. Mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir
☑2. Membaca doa isti’adzah (ta’awwudz) sebelum membaca Al Fatihah
☑3. Mendoakan kebaikan bagi diri sendiri dan kaum muslimin
☑4. Tidak mengeraskan suara ketika membaca Al Fatihah
☑5. Berdiri sebentar setelah takbir yang keempat sebelum salam
☑6. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
☑7. Menoleh ke kanan ketika mengucapkan salam
♻ *Tata Cara Shalat Jenazah*
✅1. Seorang imam atau seorang munfarid berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki. Adapun jika jenazah itu perempuan, maka berdiri di sisi tengahnya (di sisi pusar). Sedangkan makmum berdiri di belakang imam. Dan disunnahkan untuk menjadikannya tiga shaf.
✅2. Kemudian melakukan takbiratul ihram dan setelah itu langsung membaca ta’awwudz, tanpa membaca doa istiftah. Lalu membaca basmalah dan surat Al Fatihah.
✅3. Kemudian bertakbir yang kedua dan setelah itu mendoakan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana shalawat yang dibaca di dalam tasyahhud (at tahiyat) di dalam shalat pada umumnya.
✅4. Kemudian bertakbir yang ketiga, lalu membaca doa kebaikan untuk si mayit dengan doa-doa yang terdapat di dalam As Sunnah. Di antaranya adalah doa:
*_“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wa dzakarinaa wa untsaanaa. Innaka ta’lamu manqalabanaa wa matswaanaa. Wa anta ‘alaa kulli syai’in qadiir. Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari. Wa afsih lahu fii qabrihi wa nawwir lahu fiihi. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan.”_*
Artinya:
_“Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Sesungguhnya Engkau mengetahui tempat kembali dan tempat tinggal kami. Dan Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari dosa-dosanya sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Gantilah ia dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya. Masukkanlah ia ke dalam Jannah dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab Neraka. Dan ltaskanlah kubur untuknya serta terangilah ia di dalamnya. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman.”_
Bisa pula mengambil sebagian dari doa di atas sesuai dengan lafazh yang disebutkan dalam nash hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Nasaa’i, dan Imam Ibnu Majah maupun yang lain:
*_“Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqat
s tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”_*
Artinya:
_“Ya Allah ampunilah ia dan berikan rahmat kepadanya, serta sejahterakanlah dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kedatangannya dan luaskanlah tempat masuknya. Mandikanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari dosa-dosanya sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Gantilah ia dengan rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik dari istrinya. Masukkanlah ia ke dalam Jannah dan lindungilah ia dari azab kubur dan azab Neraka.”_
Atau sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan Imam Al Baihaqi maupun yang lain:
*_“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa utsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhilnaa ba’dahu.”_*
Artinya:
_“Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir maupun orang yang tidak hadir di antara kami, orang yang masih kecil maupun orang yang sudah tua di antara kami, yang laki-laki maupun perempuan di antara kami. Ya Allah barangsiapa yang Engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam. Dan barangsiapa yang Engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah ia di atas iman. Ya Allah jangan Engkau haramkan (halangi) kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”_
Adapun jika jenazah tersebut adalah seorang wanita, maka lafazh doanya dengan menggunakan dhamir mu’annats (kata ganti untuk wanita, yakni dhamir HU diganti HA), menjadi:
*_“Allahummaghfir laha warhamha, wa ‘aafiha wa’fu ‘anha, wa akrim nuzulaha, wa wassi’ mudkhalaha. Waghsilha bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqiha minal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilha daaran khairan min daariha, wa zaujan khairan min zaujiha. Wa adkhilhl jannata wa a’idz-ha min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”_* (Artinya sama dengan di atas).
Sedangkan apabila jenazah tersebut adalah anak kecil, maka mengucapkan doa:
*_“Allahummaj’alhu dzukh-ran liwaalidaihi wa farathan wa ajran wa syafii’an mujaaban. Allahumm tsaqqil bihi mawaaziinahuma wa a’dhim bihi ujuurahuma wa alhiq-hu bi shaalihi salafil mukminin. Waj’alhu fii kifaalati Ibraahiima wa qihi birahmatika ‘adzaabal Jahiim.”_*
Artinya:
_“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan bagi kedua orang tuanya, sebagai pendahulu, tambahan pahala, dan pemberi syafaat yang mustajab (bagi kedua orang tuanya). Ya Allah, beratkanlah timbangan kedua orang tuanya dengan sebab musibah kematiannya, perbesarlah pahala bagi keduanya, susulkanlah ia kepada orang-orang shalih dari salaf (pendahulu) kaum mukminin, masukkanlah ia ke dalam asuhan Ibrahim dan peliharalah ia dari azab Neraka Jahim.”_
✅5. Kemudian bertakbir yang keempat lalu mengucapkan doa:
*_“Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu.”_* (Dhamir HU juga diganti dengan HA apabila jenazahnya wanita)
Artinya:
_“Ya Allah jangan Engkau halangi kami dari mendapat pahala (atas musibah kematian)-nya dan jangan Engkau menguji kami sepeninggalnya.”_
✅6. Kemudian diam berdiri sejenak lalu mengucapkan satu kali salam seraya menoleh ke arah kanan. Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Daruquthny, Imam Al Hakim dan Imam Al Baihaqi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah menshalatkan jenazah, lalu beliau bertakbir empat kali kemudian melakukan salam satu kali.”
Boleh juga salam dua kali ke kanan dan ke kiri berdasar kepada hadits yang dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad yang jayyid dari Abdullah Ibnu Mas’ud yang mengatakan:
“Tiada cabang yang selalu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, tetapi ditingga
lkan oleh manusia, salah satunya adalah salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat (yang lain).”
Dan salam ini dilakukan dengan sirr (tidak keras).
Barangsiapa ketinggalan sebagian dari shalat jenazah, maka ia bisa langsung masuk bersama imam mengikuti shalat imam yang tersisa. Kemudian apabila imam melakukan salam, maka ia menyelesaikan shalatnya yang terluput sesuai dengan tata cara (urutan) yang telah disebutkan di atas. Adapun jika ia khawatir jenazah akan segera diangkat, maka melakukan takbir-takbir saja secara langsung (tanpa bacaan pemisah antar takbir-takbir itu) lalu melakukan salam.
Barangsiapa terluput dari menshalatkan jenazah, tetapi jenazah itu belum dikubur, maka ia bisa menshalatkannya di atas kuburnya. Boleh pula ia menshalatkan jenazah yang telah dikubur. Caranya, ia berdiri menghadap makam dan kiblat sekaligus, kemudian melakukan shalat sebagaimana shalat jenazah.
Barangsiapa ghaib (tidak hadir) di negeri tempat jenazah itu berada, sedangkan ia mengetahui tentang kematiannya, maka ia boleh menshalatkan jenazah itu secara ghaib dengan niat. Namun pendapat yang rajih bahwa shalat jenazah secara ghaib ini hanya dilakukan apabila di tempat jenazah tersebut tidak ada yang menshalatkannya, seperti apabila ia meninggal di negeri kafir.
Janin seorang wanita yang gugur dalam keadaan mati dan usianya benar-benar telah genap empat bulan atau lebih, maka dishalatkan sebagaina shalat jenazah. Adapun apabila kurang dari empat bulan, maka tidak dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Para pengendara (berjalan) di belakang jenazah, yang berjalan kaki terserah, (bisa di belakangnya, depannya, kanannya atau kirinya yang dekat dengannya). Dan anak kecil juga dishalatkan (kedua orang tuanya didoakan dengan maghfirah dan rahmat).”
Dibolehkan menshalatkan jenazah di masjid, berdasarkan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam (HR. Muslim). Namun menurut anjuran sunnah Nabi, hendaklah menyiapkan tempat khusus di luar masjid untuk penyelenggaraan shalat jenazah. Agar masjid tidak menjadi kotor (tetap terjaga kebersihannya), dan hendaknya tempat khusus itu dekat dengan pekuburan agar lebih memudahkan masyarakat umum.
_Wallahu a’lam bish-shawab_.
http://fadhlihsan.wordpress.com/2011/08/02/tata-cara-menshalatkan-jenazah/
Referensi:
1. Pengurusan Jenazah oleh Al Imam Muhyidiin Muhammad Al Barkawi & Wizaratu Asy Syu’uni Al Islamiyati Wal Auqafi Wad Da’wati Wal Irsyadi (Departemen Agama Islam, Urusan Waqaf, Dakwah dan Pengajaran) – Riyadh, Kerajaan Saudi Arabia. Penerjemah: Abu Yahya, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, cet. Pertama, Mei 2010.
2. Shalat Jenazah Disertai dengan Tata Cara Mengurusnya oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin, penerjemah: Abu Ihsan Al-Maidani Al-Atsari, penerbit: At-Tibyan, cet. Kedua, Maret 2001.
Sumber : https://abuyahya8211.wordpress.com/2012/01/18/tata-cara-menshalatkan-jenazah/
➖➖➖
  
Repost by :  
 *SOBAT MUSLIM* group sharing kajian2 islam via WhatsApp & Telegram khusus _ikhwan_~(laki-laki)~   
 Admin: +62 853-1028-3995 (utk bergabung silahkan kirim pesan via WA / TG dg format: Daftar#Nama#Kota Domisili)  
 Join Channel Telegram *SOBAT MUSLIM* di : https://goo.gl/g64jcQ
,

July 25, 2016

Tanya Jawab Bersama Ulama Ahlus Sunnah

TANYA JAWAB BERSAMA ULAMA

Bapakku Melakukan Pelanggaran Syariat
Syaikh 'Abdul 'Azîz bin Bâz rahimahullah berikut ini menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya.

Beliau berkata: "Semoga Allah Azza wa Jalla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.
Allah Azza wa Jalla berfirman : "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." [Luqmân/31:14-15]

(Pada ayat di atas) Allah Azza wa Jalla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur. Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allah Azza wa Jalla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan.

Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla, supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh bapakmu. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”. [Majmû Fatâwâ Ibni Bâz 9/313 dengan ringkas]

Ibuku Melarangku Mengenakan Hijâb (Cadar).
Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan cadar kepada Syaikh Bin Baz rahimahullah. Sebaliknya, justru memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu, agar rambut putrinya tidak cepat memutih. Demikian pernyataan sang ibu kepada anak perempuannya.
Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullah menjawab: "Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada perkara-perkara baik saja.”

Lanjut beliau, "Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar'i, wajibnya taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya. Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan." [Majmû` Fatâwâ Ibni Bâz (5/358)]

Ibuku Marah Ketika Aku Ingatkan Dari Kesalahan.
Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Lantas persoalan yang ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla . Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat mendoakan kejelekan bagi putri yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu.

Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata : “Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau. Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Allah Azza wa Jalla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau).” [Fatâwal Mar`ah hlm. 104, nukilan dari Fatâwal Mar`atil Muslimah hlm. 957-958]

Kesimpulan Dari Fatwa-Fatwa Diatas :
Beberapa fatwa Ulama di atas telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang ingin menasehati orang tuanya yang berbuat kesalahan. Dari fatwa-fatwa itu, dapat disimpulkan bahwa:
  1. Menasehati orang tua harus dengan lemah-lembut.
  2. Terkadang diperlukan pihak lain untuk melakukan nahi mungkar.
  3. Melarang orang tua dari perbuatan haram atau menolak perintah orang tua yang memerintahkan berbuat haram termasuk bakti kepada orang tua.
  4. Tidak boleh putus asa dalam rangka meluruskan orang tua menuju hidayah.
  5. Bila diperlukan, tidak mengajak bicara dengan orang tua termasuk langkah untuk menyadarkan orang tua yang berbuat salah .

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allah Azza wa Jalla di tengah keluarga. Amin.
والله أعلم… وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
========================================================================
 Diringkas Dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430/2009M.
    •═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
 Repost by : أبو صفية di Grup Dakwah Permata Sunnah
 Gabung WhatsApp di : 082293083907
 Gabung Telegram di : https://goo.gl/bEkgn9

July 23, 2016

Minimalkan, Jangan Terlalu Kaku

*Minimalkan, Jangan Terlalu Kaku*

Kalau ada kemungkaran di suatu tempat, bukan berarti kita tinggalkan hajat kita sama sekali di tempat tersebut. Yang mesti dilakukan adalah meminimalkan. Coba perhatikan dan ambil pelajaran dialog Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika ada yang bertanya pada beliau berikut ini.
“Apakah aku mesti meninggalkan mengunjungi orang sakit di Rumah Sakit karena di sana ada godaan? Apalagi orang sakit tersebut akan keluar setelah beberapa hari lagi?” demikian pertanyaan dari murid Syaikh Muhammad rahimahullah dalam pertemuan Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh setiap hari Kamis di kediaman beliau.
Syaikh Muhammad rahimahullah balik bertanya, “Emangnya apa godaannya?”
“Ada di sana wanita yang berpakaian namun telanjang,” muridnya memberikan jawaban.
Syaikh Muhammad rahimahullah lantas memberi tanggapan, “Bagaimana menurutmu jika engkau butuh membeli sayur dan seperti itu cuma ada di pasar. Di pasar, jelas kita akan bertemu banyak wanita. Apakah engkau tetap di rumah lalu berkata, kalau saja aku ke pasar untuk memenuhi kebutuhkanku tentu aku akan mendapatkan kejelekan?”
“Tidak, wahai Syaikh,” jawabnya.
Syaikh kembali memberi tanggapan, “Semacam itu pulalah ketika engkau mengambil pilihan untuk menilik orang sakit di rumah sakit.”
“Namun orang sakit tersebut akan segera keluar,” ujar si penanya.
“Engkau bukannya tidak tahu kapan ia akan keluar?” Syaikh balik bertanya.
“Ia baru saja melahirkan. Wanita yang melahirkan biasa akan keluar dua atau tiga hari dari rumah sakit,” jawabnya.
Syaikh lantas menjelaskan, “Lihatlah jika memang pergi ke sana bukan kewajiban, yaitu yang akan dikunjungi bukanlah saudara perempuanmu, bukan bibimu, bukan ibumu, maka tidak menjadi suatu keharusan untuk ke sana. Tetapi, jika yang akan dijenguk itu masih kerabatmu, jenguklah.
Namun kami ingatkan, janganlah terlalu bersikap kaku seperti tadi. Sekarang saja kalau kita bepergian dengan pesawat, sama juga penuh kemungkaran (campur baur dan banyak wanita yang tidak menutupi aurat, pen.). Mungkinkah kita katakan, ‘Ah saya tidak mau pergi dengan pesawat karena ada kemungkaran di dalamnya.’? Tidak seperti itu wahai saudaraku. Bepergianlah dengan pesawat, itu tak masalah. Namun *_kurangilah kemungkaran semampu kita, seperti dengan sering memalingkan pandangan dari melihat yang tidak halal_*.” Demikian yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah.

Semoga kita bisa memahami dialog di atas.
Kalau memang kita terpaksa mendatangi tempat yang ada kemungkaran, maka minimalkan saja kemungkaran yang ada.
_Karena ada kaedah yang sering para ulama utarakan, jika bertemu dua kejelekan yang mesti dipilih, maka ambillah yang lebih ringan_
Semoga kita terus bisa meraih ilmu yang manfaat dari alim rabbani kita.
 =============================================================
Referensi:
Silsilah Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh, pertemuan no. 236, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Ditulis dan diterjemahkan @ Citilink menuju Jakarta, pagi hari 23 Sya’ban 1437 H
Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
Sumber: https://rumaysho.com/13566-minimalkan-jangan-terlalu-kaku.html
```Moga Allah memberikan hidayah para muslimah agar bisa menjaga aurat mereka karena takut kepada Allah, aamiin```

July 20, 2016

Ketiduran, shalat subuh kelewatan.

Ketiduran, shalat subuh kelewatan. 

Bismillah
Masih ada yg beranggapan bahwa kalau ketiduran dari sholat subuh, bangun kesiangan ngga wajib/hilang/gugur kewajibannya. Benarkah????
Dalil berikut ini yang membantah "mitos/faham salah" itu.

Dari Sunan Tirmidzi no.162 yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahulloh
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ
ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي مَرْيَمَ وَعِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ وَجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ وَأَبِي جُحَيْفَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَعَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ وَذِي مِخْبَرٍ وَيُقَالُ ذِي مِخْمَرٍ وَهُوَ ابْنُ أَخِي النَّجَاشِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى وَحَدِيثُ أَبِي قَتَادَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الرَّجُلِ يَنَامُ عَنْ الصَّلَاةِ أَوْ يَنْسَاهَا فَيَسْتَيْقِظُ أَوْ يَذْكُرُ وَهُوَ فِي غَيْرِ وَقْتِ صَلَاةٍ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ عِنْدَ غُرُوبِهَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ يُصَلِّيهَا إِذَا اسْتَيْقَظَ أَوْ ذَكَرَ وَإِنْ كَانَ عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ عِنْدَ غُرُوبِهَا وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَالشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ و قَالَ بَعْضُهُمْ لَا يُصَلِّي حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَوْ تَغْرُبَ
Artinya:

telah menceritakan kepada kami Qutaibah berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Tsabit Al Bunani dari Abdullah bin Rabah Al Anshari dari Abu Qatadah ia berkata; "Para sahabat menyebutkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa mereka ketinggalan shalat karena tidur, maka beliau pun bersabda: "Dalam tidur tidak ada istilah meremehkan, tetapi meremehkan itu ketika dalam keadaan sadar (tidak tidur). Maka jika salah seorang dari kalian lupa tidak mengerjakan shalat, atau ketiduran, maka hendaklah ia shalat ketika telah ingat." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ibnu Mas'ud, Abu Maryam, Imran bin Hushain, Jubair bin Muth'im, Abu Juhaifah, Abu Sa'id, 'Amru bin Umayyah Adl Dlamri dan Dzu Mikhbar, disebut juga dengan nama Dzu Mikhmar -yaitu anak laki-laki dari anak laki-laki An Najasyi-." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Qatadah derajatnya hasan shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang lalai mengerjakan shalat karena ketiduran atau lupa, lalu ia terbangun atau ingat ketika waktu shalat telah habis, yaitu ketika matahari telah terbit atau telah terbenam. Sebagian dari mereka berkata; "Ia harus mengerjakannya jika telah bangun atau ingat, meskipun matahari ketika itu sedang terbit atau sedang terbenam." Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Syafi'i dan Malik. Sedangkan sebagian lain berkata; "Ia tidak boleh melaksanakan shalat hingga matahari terbit atau tenggelam."

July 19, 2016

Menghilangkan Penderitaan Sesama Muslim

 BimbinganIslam.com
Selasa, 14 Syawwal 1437 H / 19 Juli 2016 M
 Ustadz Firanda Andirja, MA
 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
 Hadits ke-12 | Menghilangkan Penderitaan Sesama Muslim (Bagian 1)
⬇ Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Bab02-H12-1
======================================================================

MENGHILANGKAN PENDERITAAN SESAMA MUSLIM

بسم اللّه الرحمن الرحيم
Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kita lanjutkan pembahasan kita dari Kitābul Jāmi', masih dalam bab Al-Birr wa Ash-shilah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Dari shāhabat Abu Hurairah radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda,
"Barangsiapa yang menghilangkan dari seorang Muslim penderitaannya dari penderitaan di dunia, maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya dari penderitaan-penderitaan hari Kiamat.
Barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang mengalami kesulitan karena terlilit hutang, maka Allāh akan memudahkan baginya urusan di dunia dan di akhirat.
Barangsiapa yang menutupi aib orang Islam, maka Allāh akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allāh senantiasa menolong hamba tersebut jika seorang hamba menolong saudaranya."
(HR Muslim)
Hadits ini menunjukkan kaidah yang sangat agung yaitu:
الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
"Balasan sesuai dengan amal perbuatan."
Barangsiapa yang melakukan kebaikan maka Allāh akan balas dengan kebaikan, barangsiapa yang melakukan keburukan maka Allāh akan balas dengan keburukan.
Lihat hadits ini,
• Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan orang lain Allāh akan menghilangkan penderitaannya.
• Barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allāh akan mengilangkan kesulitannya.
• Barang siapa yang menutup aurat seorang Muslim maka Allāh akan menutup auratnya.
• Barang siapa menolong seorang hamba maka Allāh akan menolongnya.
Ini semua menunjukkan bahwasannya "balasan seusai dengan perbuatan".
Dan hadits ini membicarakan beberapa permasalahan.
■ PERTAMA
Yaitu sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Barang siapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim dari penderitaan-penderitaannya di dunia maka Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan menghilangkan penderitaanya pada hari kiamat kelak."

Disini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan "Allāh akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan di akhirat", tetapi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam hanya MENCUKUPKAN "Allāh akan menghilangkan penderitaannya di hari kiamat kelak".
Kenapa bisa demikian?
Hal ini dijelaskan oleh Al-Hāfizh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitabnya Jamī'ul 'Ulūm wal Hikām, beliau menyebutkan bahwasanya,
"Karena penderitaan di dunia tidak ada apa-apanya (tidak ada bandingannya) jika dibandingkan dengan penderitaan pada hari kiamat kelak."
Sesungguhnya penderitaan pada hari kiamat kelak sangatlah berat. Oleh karenanya Allāh menyediakan bagi orang yang menghilangkan penderitaan sauadaranya di dunia, Allāh akan menghilangkan penderitaannya di akhirat.
Kenapa ?
Penderitaan di dunia masih bisa dihadapi tapi penderitaan di akhirat maka sangat mengerikan. Tidak ada orang yang bisa menghadapi penderitaan di akhirat kecuali jika ditolong oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Seperti dalam hadits disebutkan:
يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ , يُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ , فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَا لا يُطِيقُونَ وَلا يَحْتَمِلُونَ , فَيَقُولُ النَّاسُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : أَلا تَرَوْنَ مَا قَدْ بَلَغَكُمْ , أَلا تَنْظُرُونَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan bahwasanya,
• Allāh akan mengumpulkan seluruh manusia sejak awal sampai akhir di satu dataran.
• Matahari akan direndahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
• Maka orang-orang akan mengalami penderitaan dan kesulitan dan penderitaan yang mereka tidak mampu untuk menghadapinya, mereka tidak mampu untuk memikulnya.
• Maka sebagian orang berkata kepada yang lainnya, "Tidakkah kalian melihat yang kalian rasakan, tidakkah kalian melihat siapa yang bisa memberi syafa'at bagi kita di sisi Rabb kita."
(HR Bukhari dan Muslim)
Ini adalah hadits tentang syafa'at yang menjelaskan manusia dalam kondisi sangat sulit tatkala itu, karena matahari diturunkan dalam jarak satu mil.
Dalam hadits lain Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,
تُحْشَرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلا
"Kalian akan dibangkitkan oleh Allāh pada hari kiamat dalam kondisi tidak memakai alas kaki, dalam kondisi tidak berpakaian dalam kondisi belum disunat."
'Aisyah radhiyallāhu 'anhā berkata:
يا رسول الله الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيعًا ، يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟
"Ya Rasūlullāh, lelaki dan wanita akan saling melihat diantara mereka (kalau mereka dikumpulkan bersama)?"
Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:
الأَمْرَ أَشَدُّ أَنْ يُهِمَّهُمْ مِنْ ذَلِك 
"Perkaranya sangat dahsyat sehingga mereka tidak sempat untuk memikirkan hal itu."
(HR Bukhari dan Muslim)
Allāh mengatakan,
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
"Hari dimana Allāh menjadikan anak-anak menjadi beruban."
(QS. Al-Muzzammil 17)
Karena saking dahsyatnya, seandainya hari tersebut dilihat olah anak-anak maka rambut mereka bisa langsung beruban karena saking mengerikan pada hari tersebut.
Tatkala matahari didekatkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla maka manusia bercucuran keringat, ada yang keringatnya sampai di mata kakinya, ada yang sampai di betisnya, ada yang di pinggangnya, bahkan sampai keringatnya di mulutnya karena saking panas dan penderitaan pada hari tersebut.
Oleh karenanya, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,
Disini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengkhususkan "Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang mu'min di dunia maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya di akhirat" karena penderitaan di dunia masih bisa dihadapi, adapun penderitaan akhirat siapa yang bisa menghadapinya?
Penderitaan dengan berbagai macam model penderitaan.
Maka barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang Mu'min maka dia akan dihilangkan penderitaannya di hari kiamat.
Naffasa (نَفَّسَ) dalam bahasa Arab diambil dari مَنْ نَفَّسَ, "barangsiapa melegakan" kalau kita artikan secara bahasa Indonesia.
Artinya misalnya seperti orang tercekik, susah untuk bernapas, dadanya sempit, udara sulit keluar dari kerongkongannya kemudian kita lepaskan, itu namanya tanfis. Jadi seakan-akan ia mudah untuk bernapas lagi.
Ini isyarat bahwasannya seorang tatkala saudaranya mengalami penderitaan, bisa jadi dia tidak menghilangkan penderitaannya secara total, tapi paling tidak dia meringankan sehingga orang tersebut yang sebelumnya sulit untuk bernapas, sulit untuk bergerak, tiba-tiba dia bisa lagi menghembuskan udara/nafasnya sehingga dia merasa ringan.
Oleh karenanya jika seseorang berusaha membantu saudaranya semaksimal mungkin maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya pada hari kiamat.
Dan tadi kita telah jelaskan bahwa hadits ini menunjukkan "al jazā min jinsil 'amal (balasan sesuai dengan perbuatan)" namun pada hakikatnya amalan kita tidak sebanding dengan pemberian Allāh, dengan balasan yang Allāh berikan.
Bayangkan, kita hanya menghilangkan penderitaan seseorang di dunia, tetapi balasannya penderitaan kita di akhirat yang akan dihilangkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Tentu tidak ada bandingannya antara penderitaan di dunia dengan penderitaan di akhirat.
Demikian ikhwan dan akhwat kita akan lanjutkan pada pembahasan berikutnya in syā Allāh.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______________________________
Donasi Operasional & Pengembangan Dakwah Group Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank 451
| No. Rek : 7103000507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
| Konfirmasi Transfer : +628-222-333-4004
Saran Dan Kritik
Untuk pengembangan dakwah group Bimbingan Islam silahkan dikirim melalui
SaranKritik@bimbinganislam.com

July 18, 2016

MELAWAN TERHADAP PEMERINTAH DALAM PANDANGAN ISLAM

BAHAYA KHURUJ (MELAWAN) TERHADAP PEMERINTAH

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
https://almanhaj.or.id/2481-bahaya-khuruj-melawan-terhadap-pemerintah.html
______________________________________________________________________________
*Gerakan khuruj (pemberontakan) dan inqilab (melancarkan kudeta)* terhadap suatu pemerintahan (yang sah) bukanlah sarana untuk memperbaiki masyarakat. Bahkan justru memicu timbulnya kerusakan di tengah masyarakat.
Khuruj terhadap pemerintah muslim, bagaimana pun tingkat kezhalimannya, merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj Ahlus Sunnah (Wal Jama’ah). Ada dua macam bentuk khuruj, (1). Khuruj dengan memanggul senjata (2). Khuruj dengan perkataan dan lisan.
Mereka yang selalu memunculkan perpecahan, pertikaian, dan pergolakan terhadap pemerintahan muslim, pada hakikatnya telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan tersebut. padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk bersabar, sebagaimana sabda beliau.
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَان متفق عليه.
“Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah”. [Muttafaq ‘alaih]
Renungkanlah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kecuali engkau melihat suatu kekufuran”. Penuturan beliau tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi diiringi dengan keterangan “kekufuran yang sangat jelas”. Lantas beliau menambahkan keterangan lebih lanjut” yang dapat engkau buktikan tentang itu di sisi Allah”.
Di dalam hadits ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan lima buah penekanan untuk mencegah orang dari khuruj dan takfir (mengkafirkan pemerintah atau pun individu muslim) yang merupakan perbuatan sangat buruk dan berbahaya. Karena dapat mengakibatkan kerusakan dan kehancuran di tengah masyarakat.
Bahkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya, I’lamul Muwaqqi’in : “Tidak ada satu pemberontakan pun terhadap pemerintah muslim yang membawa kebaikan terhadap umat pada masa kapan pun”.
Begitu juga hujatan terhadap pemerintah. Manakala sebagian orang menjadikan hujatan terhadap pemerintah sebagai materi ceramah dan “nasihat-nasihat” yang mereka sampaikan untuk memperoleh simpati manusia. Manusia pada dasarnya menyukai hujatan terhadap pemerintah, juga terhadap para penguasa dan pemimpin, serta kepada setiap orang yang mempunyai posisi lebih tinggi dari mereka. Seakan-akan hujatan dan celaan tersebut sebagai hiburan yang dapat menyenangkan hati mereka
Sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan ketika kita menyaksikan hujatan, makian, serta cercaan terhadap pemerintah, saat ini menjadi materi-materi ceramah dan “masukan” bagi sebagian da’i zaman sekarang, khususnya pada waktu terjadinya fitnah. Hingga materi yang mereka sampaikan akan membuat orang-orang berkomentar :”Masya Allah, Syaikh ini orang yang berani, atau Syaikh ini orang yang kuat”. Padahal fakta ini sesungguhnya tidak mendatangkan manfaat apa pun, melainkan hanya akan menghasut dan mengotori jiwa
Sebagian orang justru mengira, tindakan tersebut merupakan bentuk upaya menasehati pemerintah. Padahal terdapat metode dan prosedur dalam menasehati pemerintah, seperti termaktub dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ نَصِيْحَةٌ لِذِيْ سَلْطَانٍ فَلْيَذْهَبْ إِلَيْهِ وَ لْيُِسرَّهَا لَهُ
“Barangsiapa di antara kalian yang ingin menasehati penguasa, maka hendaklah dia pergi kepadanya, dan merahasiakan nasihatnya itu”.
Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan bahwa nasihat kepada para penguasa atau pemerintah, hendaklah disampaikan secara rahasia. Karena bila ditempuh secara terang-terangan akan menimbulkan gejolak hati, yang merusak hati.
Kalau di antara kita -para penuntut ilmu- ada yang terjatuh ke dalam suatu kesalahan, kemudian salah seorang menasihatinya di depan umum, ia langsung akan berkata : “Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah. Janganlah kamu membuka aibku di depan umum. Kalau engkau ingin menasihatiku, maka lakukanlah dengan empat mata”.
Kalau para penuntut ilmu, para da’i yang mengajak manusia kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang mengetahui keutamaan ilmu, keutamaan al-haq dan kembali kepadanya (setelah mengalami kekeliruan)- tidak menyukai metode seperti ini dalam memberikan suatu nasihat, maka bagaimana mungkin para penguasa yang memiliki kedudukan, kekuasaan, senjata, serta tentara yang banyak -bagaimana mungkin mereka- akan dapat menerima nasihat dengan cara yang tidak simpatik ini. Justru yang lebih utama, tidak menasihati mereka di depan umum ; kalaupun hal ini tidak mendatangkan maslahat bagi pemerintah, paling tidak akan memberi maslahat bagi diri kita sendiri. Hal ini, tentunya apabila mereka (para penguasa) adalah orang-orang muslim.
Batasan yang paling rendah untuk menghukumi mereka sebagai seorang muslim, ialah apabila mereka tunduk dan mengakui kebenaran agama Islam. Meskipun mereka melakukan suatu penyelewangan, mempunyai kesalahan yang banyak dan berbuat dosa-dosa besar. Dan ini semua tidak menjadikan mereka sebagai orang kafir, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَان متفق عليه
“Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah”. [Muttafaqun ‘alaih]
Kemudian Syaikh Muqbil rahimahullah berkata :
وَلَا نَرَى الْانْقِلَاباَتِ سَبَبًا لِلْإِصْلَاحِ بَلْ لِإِفْسَادِ الْمُجْتَمَعِ
“Kami tidak memandang kudeta sebagai jalan untuk membenahi masyarakat. Bahkan gerakan tersebut, justru menimbulkan kerusakan dalam masyarakat”.
Marilah kita simak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim, dari hadits Arfajah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ ( رواه مسلم
“Barangsiapa yang datang kepada kalian, ketika kalian bersatu di bawah satu pimpinan, dia berkeinginan untuk memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia”. [HR Muslim]
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa pemberontakan terhadap suatu pemerintah, yang dapat menimbulkan suatu perpecahan di kalangan masyarakat merupakan salah satu hal yang mewajibkan seseorang untuk dibunuh. Akan tetapi, perlu diingat, bahwa yang dapat menjatuhkan sanksi ini adalah waliyyul-amr, pemerintah yang memegang kekuasaan
Dalam sebuah hadits dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan.
بَايَعْنَا رَسُولَ للَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَان متفق عليه .
“Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu patuh dan taat, baik terhadap apa yang kami suka maupun yang tidak kami suka, dan dalam keadaan sulit maupun lapang, dan untuk mendahulukan apa yang diperintahkan (di atas segala kehendak kami), dan untuk tidak merebut kekuasaan dari pemimpin yang sah. Kecuali engkau melihat suatu kekufuran yang sangat jelas, yang dapat engkau buktikan di sisi Allah”. [Muttafaqun ‘alaih]
Akan tetapi, ketaatan ini tidak boleh berlawanan dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya terhadap perkara yang ma’ruf (baik) saja”. [Muttafaqun ‘alaih]
Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain.
لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ أخرجه الطبراني في المعجم الكبير
“Tidak boleh taat kepada makhluk di dalam maksiat kepada Al-Khaliq”. [HR Thabrani di dalam Al-Mu’jamul Kabir]
Kalau mau merenung sejenak, niscaya kita akan memperoleh fakta bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada satu pemberontakan pun yang berhasil. Lain halnya dengan orang-orang kafir, kebanyakan pemberontakan yang mereka gerakkan berakhir dengan keberhasilan. Di sini seakan-akan Allah Subhanahu wa Ta’ala s
edang menghendaki, supaya kita mau melihat dan memperhatikan bahwa cara seperti ini, bukanlah metode syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menginginkan kita supaya menempuh metode syar’i yang telah digariskan oleh-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab-Nya.
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. [Ar-Ra’d : 11]
إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu”. [Muhammad : 7]
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa”. [Al-Hajj : 40]
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa metode syar’i adalah tidak keluar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa”. [Al-An’am : 153]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْماً خَطًّا ثُمَّ قَالَ :« هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ». ثُمَّ خَطَّ خُطُوطاً عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ :« هَذِهِ سُبُلٌ ، عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ». ثُمَّ تَلاَ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :”Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat suatu garis, kemudian beliau berkata : “Ini adalah jalan Allah”, kemudian beliau membuat garis-garis yang banyak di bagian kanan dan bagian kirinya, lalu berliau berkata : “Ini adalah jalan-jalan (yang dimaksud oleh Allah), dan pada setiap jalan terdapat setan yang menyeru kepadanya”, kemudian beliau membaca ayat : “Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa” .
Dari sini jelaslah bagi kita, bahwa tidak ada jalan untuk memperbaiki kondisi masyarakat melainkan dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi segala macam bentuk bid’ah. Mari kita simak firman Allah Azza wa Jalla yang sangat agung berikut ini.
وَإِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِي نَعِدُهُمْ أَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ
“Dan adakalanya kami memperlihatkan kepadamu (Muhammad) sebagian dari (siksaan) yang Kami janjikan kepada mereka, atau Kami wafatkan engkau (sebelum itu)”. [Yunus : 46]
Banyak diantara manusia yang berkata “kami belum melihat kejayaan Islam”. Ketahuilah ! Bahwa tidaklah mesti kita melihat segala apa yang telah dijanjikan Allah kepada kita, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melihat segala apa yang di jajikan oleh Allah. Coba kita menyimak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan janji-Nya kepada orang-orang beriman.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً
“Allah telah menjajikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama telah Dia ridhai bagi mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam, ketakutan menjadi aman sentosa. Asalkan mer
eka (tetap) semata-mata beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan suatu pun”. [An-Nur : 55]
Sungguh ini merupakan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila kita dapat merealisasikan perintah Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan merealisasikan apa yang telah Dia janjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kita.
Wallahu ‘alam, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihi wa sallam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[*]. Diterjemahkan oleh ustadz Ahmad Danil dari penjelasan Syaih Ali Hasan Al-Halabi terhadap risalah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah yang berjudul “Hadzihi Da’watuna Wa Aqidatuna”.
©almanhaj//مجانا/Free/
,

Do'a Ketika Turun Hujan

BERDOA KETIKA HUJAN

 Dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ  اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”. (HR. Bukhari no. 1032)
 Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5: 18, Asy Syamilah)
 Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
“Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078).
والله أعلم… وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
    •═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
 Repost by : أبو صفية di Grup Dakwah Permata Sunnah
 Gabung WhatsApp di : 082293083907
 Gabung Telegram di : https://goo.gl/bEkgn9

July 17, 2016

Sholat Menghadap Sutroh, Wajibkah?

SHOLAT MENGHADAP SUTROH 

Masih banyak diantara kita yang belum faham betapa pentingnya sholat dihadapan sutroh/pembatas. Mari perhatikan kajian berikut yang kami kutip dari web guru kami Al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc hafidhohulloh.
Sutroh yang dimaksudkan di sini adalah penghalang atau pembatas. Pembatas di sini dipasang di depan imam atau orang yang shalat sendirian ketika shalat, berupa tongkat atau selainnya dengan tujuan untuk menghalangi orang yang akan lewat di hadapannya ketika shalat.
Hukum Shalat Menghadap Sutroh
Menurut mayoritas ulama, jika seseorang shalat sendirian atau sebagai imam disunnahkan baginya shalat menghadap sutroh supaya dapat menghalangi orang lain yang akan lewat di hadapannya.[1]
shalat_sutrah
Dalil Pendukung
Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya shalat menghadap sutroh terdapat dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutroh dan mendekatlah padanya” (HR. Abu Daud no. 698). An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Khulashoh (1/518). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Shohihul Jaami’ (651).
Perintah di sini dibawa kepada hukum sunnah dengan alasan sebagai berikut.
Pertama: Terdapat dalil pemaling dari perintah ke hukum sunnah berikut ini.
(1) Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ
Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku” (HR. Bukhari no. 76, 493 dan 861).
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud (إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ) adalah,
إِلَى غَيْر سُتْرَة قَالَهُ الشَّافِعِيّ
“Tanpa menghadap sutroh, sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i.”[2]
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hal ini dikuatkan dengan riwayat Al Bazzar dengan lafazh,
وَالنَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْمَكْتُوبَة لَيْسَ لِشَيْءٍ يَسْتُرهُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat wajib dan di hadapannya tidak ada sesuatu sebagai sutroh.[3]
Mengenai hadits di atas, Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan,
أن الإمام يجوز أن يصلى إلى غير سُترة
“Imam boleh shalat tanpa mengahadap sutroh.”[4]
(2) Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَىْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ
Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang dan apabila ada yang tetap nekad melewati di hadapan ia shalat, maka hendaklah ia menolak/menghalanginya” (HR. Bukhari no. 509 dan Muslim no. 505)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa kutipan hadits “Jika salah seorang di antara kalian shalat menghadap sesuatu yang membatasi dirinya agar tidak dilewati orang”, menunjukkan bahwa orang yang shalat kadang menghadap sutroh dan kadang pula tidak menghadapnya. Konteks kalimat semacam ini tidaklah menunjukkan bahwa setiap orang pasti shalat menghadap sutroh. Yang tepat, konteks kalimat ini menunjukkan bahwa sebagian orang ada yang shalat menghadap sutroh dan sebagian lainnya tidak menghadapnya.[5]
(3) Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى فَضَاءٍ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ شَىْءٌ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun.” (HR. Ahmad 1/224). Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (2/66) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Al Hajjaj bin ‘Arthoh dan ia adalah perowi yang dho’if. Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad (1/224), mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad (3/297) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa hadits di atas terdapat kalimat (شَىْءٌ), yang ini menunjukkan umum, artinya beliau tidak menghadap apa pun. Walaupun hadits ini mendapat kritikan, namun cukup dua hadits sebelumnya (dari Abu Sa’id dan Ibnu ‘Abbas) sudah sebagai penguat.[6]
Kedua: Para ulama berijma’ bahwa sutroh tidaklah wajib.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata,
وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا
“Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat tentang disunnahkannya hal ini (shalat menghadap sutrah, pen).”[7]
Ibnu Rusyd rahimahullah berkata,
واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي والقبلة إذا صلى ، مفرداً كان أو إماماً
“Para ulama telah sepakat dengan ijma’ mereka tentang disunnahkannya sutroh (yang diletakkan) antara orang yang shalat dan kiblat sewaktu shalat, baik shalat sendiri atau sebagai imam.”[8]
Yang menukil adanya ijma’ dari ulama belakangan adalah seperti Syaikh Albassam dalam Taudhihul Ahkam[9].
Ketiga: Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin beralasan bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah karena hukum asalnya adalah baroatudz dzimmah. Artinya, asalnya seseorang itu terlepas dari kewajiban sampai ada dalil tegas yang menyatakan wajib.[10]
Keempat: Hadits tentang orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat,
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَىِ الْمُصَلِّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Seandianya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya ia lebih memilih diam selama 40 (tahun) itu lebih baik baginya daripada ia berjalan di hadapan orang tadi.” (HR. Bukhari no. 510 dan Muslim no. 507). Ada ulama yang menjelaskan bahwa hadits ini dikatakan berdosa bagi orang yang melewati saja. Seandainya memasang sutroh itu wajib, tentu orang yang mengerjakan shalat—apalagi ia tidak memasang sutroh di hadapannya—akan ikut berdosa. [11]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Sutroh sesungguhnya hanya penyempurna shalat dan tidak mempengaruhi kesahan shalat. Ia pun bukan bagian dari rukun dan bukan pula syarat shalat sehingga dapat merusak shalat. Yang tepat, sutroh hanyalah penyempurna shalat sehingga ia bukanlah suatu yang wajib. Dalil pemaling dari perintah menjadi sunnah akan kami sebutkan berikut ini …”.[12] Dalil pemaling yang beliau maksudkan telah kami sebutkan sebelumnya.
Dalil lain dari ulama yang menyatakan bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah namun dalilnya adalah lemah (dho’if), sebagai berikut:
Dari Al Fadhl bin ‘Abbas, ia berkata,
أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ فِى بَادِيَةٍ لَنَا وَمَعَهُ عَبَّاسٌ فَصَلَّى فِى صَحْرَاءَ لَيْسَ بَيْنَ يَدَيْهِ سُتْرَةٌ
Kami mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kami berada di gurun. Tatkala itu beliau bersama ‘Abbas. Beliau shalat di gurun di mana tidak ada di depan beliau sutroh” (HR. Abu Daud no. 718). Hadits ini diperselisihkan tentang keshahihannya. Al Khottobi dalam Ma’alimus Sunan (1/165) mengatakan bahwa sanad hadits ini mengalami kritikan. ‘Abdul Haq Al Isbiliy dalam Al Ahkam Asy Syar’iyyah Al Kubro (2/162) mengatakan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Al Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (2/137) mengatakan bahwa di dalam sanadnya terdapa Majalid bin Sa’id yang dapat kritikan. Syaikh Al Albani dalam Dho’if Abu Daud (718) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. An Nawawi dalam Al Majmu’ (3/250) dan Al ‘Iroqi dalam Thorh At Tatsrib (2/389) mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Dari Katsir bin Katsir bin Al Muthallib bin Abi Widaa’ah, dari sebagian keluarganya, dari kakeknya, ia berkata,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى مِمَّا يَلِى بَابَ بَنِى سَهْمٍ وَالنَّاسُ يَمُرُّونَ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سُتْرَةٌ.
Ia pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di tempat setelah pintu Bani Sahm. Orang-orang lewat di depan beliau, sementara tidak ada sutrah antara keduanya (Nabi dengan Ka’bah).” (HR. Abu Daud no. 2016). Asy Syaukani dalam Nailul Author (3/9) mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat perowi yang majhul. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inidho’if.
Alasan Ulama yang Mewajibkan Sutroh
Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum memasang sutroh adalah wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal itu. Di antara dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang kami sebutkan di awal tulisan,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap ke sutrah dan mendekatlah padanya”. Mereka pun menyanggah berbagai argumen hadits dari ulama yang berpendapat bahwa hukum memasang sutroh adalah sunnah.
Alasan pertama: Mengenai hadits,
يُصلِّي في فضاء إلى غير شيء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak terdapat sesuatu pun”, dikatakan sebagai hadits dho’if.
Alasan kedua: Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas,
إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menghadap dinding”, menunjukkan bahwa belum tentu beliau tidak menghadap sutroh yang lainnya.
Alasan ketiga: Mengenai hadits Abu Sa’id bahwa boleh jadi orang menghadap sutroh atau pun tidak, maka sanggahannya adalah dari hadits lainnya menunjukkan bahwa ada perintah menghadap sutroh.
Setelah menyebutkan alasan dari pihak ulama yang mewajibkan sutroh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan, “Berbagai alasan yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan hukum memasang sutroh adalah sunnah dan mereka yang menyuarakan demikian adalah mayoritas ulama dinilai lebih kuat dan lebih rojih. Jika tidak demikian, maka kita kembalikan ke hukum asal sesuatu adalah baroatudz dzimmah yaitu terlepas dari kewajiban. Tidak boleh dihukumi wajib sampai ada dalil yang jelas dan memuaskan.”[13]
Ditambah lagi ada klaim ijma’ dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Qudamah yang menyatakan hukum sutroh adalah sunnah (bukan wajib). Yang ini tentu saja tidak boleh kita abaikan. Jika memang klaim ijma’ ini benar, maka tentu saja pendapat ulama setelah adanya ijma’ ini yang meragukan.
Satu kritikan lagi, dalam hadits Ibnu Abbas,
إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ
“(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat) tanpa menghadap dinding”. Ulama yang mewajibkan sutroh mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan, “belum tentu beliau tidak menghadap sutroh yang lainnya.”
Sanggahannya: Apakah penafsiran (ulama yang mewajibkan sutroh) seperti ini berasal dari salaf ataukah hanya pendapat ulama belakangan (mutaakhirin)? Ulama salaf semacam Imam Asy Syafii jelas menafsirkan jidar dalam hadits tersebut dengan “sutroh”. Adakah ulama salaf (sebelum Imam Syafi’i) yang menafsirkan jidar dengan tembok seperti ulama yang mewajibkan sutroh pahami? Jika tidak, maka patut dipertanyakan penafsiran semacam itu dari ulama yang mewajibkan.
(*) Jika sutroh pun wajib, ia bukan penentu sahnya shalat. Karena menghadap sutroh adalah suatu perintah yang tidak berkaitan dengan zat shalat, namun di luarnya. Sehingga tidak berlaku kaedah “an nahyu yaqtadhil fasad”, artinya: larangan mengonsekuensikan ketidaksahan. Maksudnya, orang yang tidak bersutroh ketika shalat, shalatnya tetap sah, namun ia terkena dosa karena meninggalkan sesuatu yang wajib.[14] Ini jika memang menghadap sutroh adalah suatu kewajiban. Namun yang tepat tidaklah demikian sebagaimana yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Para Ulama yang Menyatakan Hukum Menghadap Sutroh adalah Sunnah
Salah seorang ulama Hambali, Al Bahuti berkata, “Menghadap sutroh tidaklah wajib dengan alasan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan ketika itu sama sekali tidak ada sesuatu di hadapannya”.”
Demikian pula ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam pendapat mereka yang masyhur, hukum sutroh adalah sunnah bagi imam dan bagi orang yang shalat sendirian. Mereka berpendapat bahwa hal ini disunnahkan bagi mereka yang khawatir akan ada orang yang lewat di hadapannya. Jika tidak khawatir demikian, maka tidak disunnahkan memasang sutroh.
Dinukil dari Imam Malik bahwa beliau memerintahkan memasang sutroh secara mutlak. Seperti ini pula yang menjadi pendapat Ibnu Habib dan dipilih pula oleh Al Lakhmi.
Adapun ulama Syafi’iyah, mereka secara mutlak menyatakan bahwa hukum memasang sutrah adalah sunnah dan sama sekali tidak memberikan qoid (syarat tambahan).
Ulama Hambali berpendapat bahwa disunnahkan memasang sutroh bagi imam dan orang yang shalat sendirian meskipun ketika itu tidak khawatir ada orang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat.
Adapun makmum tidak disunnahkan memasang sutroh, sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama. Karena sutroh imam juga menjadi sutroh bagi makmum di belakangnya atau imam menjadi sutroh bagi makmum.[15]
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْمُصَلِّي أَنْ يُصَلِّيَ إلَى سُتْرَةٍ … وَلَا نَعْلَمُ فِي اسْتِحْبَابِ ذَلِكَ خِلَافًا
“Disunnahkan bagi orang yang sedang shalat untuk shalat menghadap sutroh. … Kami tidak mengetahui ada perselisihan pendapat tentang disunnahkannya hal ini.”[16]
Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan,
يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها
“Disunnahkan bagi orang yang shalat untuk meletakkan sutroh di hadapannya supaya menghalangi orang yang akan lewat dan agar pandangan tidak melihat ke arah lain.”[17]
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ mengatakan,
لم يعرف عنهم أنهم كانوا ينصبون أمامهم ألواحا من الخشب لتكون سترة في الصلاة بالمسجد، بل كانوا يصلون إلى جدار المسجد وسواريه، فينبغي عدم التكلف في ذلك، فالشريعة سمحة، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، ولأن الأمر بالسترة للاستحباب لا للوجوب
“Tidak dikenal di kalangan para sahabat bahwa mereka meletakkan di hadapannya kayu untuk dijadikan sutrah ketika shalat di masjid. Bahkan yang diketahui, mereka shalat menghadap tembok dan tiang. Oleh karena itu, tidak perlu menyusah-nyusahkan diri dalam hal ini. Syari’at islam sungguh memberikan berbagai kelapangan. Tidaklah seseorang memberat-beratkan diri dalam beragama melainkan ia akan dikalahkan oleh dirinya sendiri. Perlu diketahui bahwa perintah untuk menghadap sutroh hanyalah sunnah, bukan wajib.”[18]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah berkata,
الصلاة إلى سترة سنة مؤكدة وليست واجبة فإن لم يجد شيئا منصوبا أجزأه الخط
“Shalat menghadap sutroh adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan) dan bukanlah wajib. Jika tidak mendapatkan sesuatu yang tegak sebagai sutroh, diperbolehkan menjadikan garis sebagai sutroh.”[19]
Tinggi Sutroh
Yang dijadikan sutroh bisa tembok, pohon atau tiang.[20] Boleh pula orang di hadapannya dijadikan sebagai sutroh.[21]
Lalu berapakah tinggi minimal sutroh?
Imam Ahmad ditanya mengenai tinggi pelana yang dijadikan patokan sebagai tinggi sutroh. Beliau menjawab, “Satu hasta.” Demikian pula ‘Atho’ mengatakan bahwa tingginya satu hasta. Hal ini juga dikatakan oleh Ats Tsauri dan Ash-habur ro’yi. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, tingginya seukuran satu hasta. Demikian pula pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah menjelaskan bahwa sebenarnya ukuran tadi adalah ukuran pendekatan dan bukan ukuran pastinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan tinggi pelana. Padahal tinggi pelana itu macam-macam, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada pula yang tingginya satu hasta, bahkan ada pula yang kurang dari satu hasta. Jadi jika mendekati satu hasta, itu sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai sutroh. Wallahu a’lam.[22]
Jarak Sutroh
Bagi orang yang memasang sutroh, hendaklah ia mendekatinya, jangan posisi ia berdiri terlalu jauh dari sutroh. Karena semakin dekat pada sutroh, maka akan semakin orang akan sulit lewat di hadapannya. Jarak yang bagus antara orang yang shalat dan sutroh adalah tiga hasta atau kurang dari itu.[23]
Sutroh Berupa Garis?
Menurut mayoritas ulama yaitu ulama Syafi’iyah, Hambali dan pendapat rojih menurut ulama Hanafiyah yang belakangan bahwa jika shalat tidak mendapat sutroh yang berdiri tegak, bisa menjadikan garis di hadapannya sebagai sutroh.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mengqiyaskan garis dengan sajdah yang terbentang. Ath Thohthowi mengatakan bahwa ini adalah qiyas yang amat bagus karena tempat shalat (sajdah) tentu lebih terlihat daripada garis.
Ulama Syafi’iyah lebih menyukai jika yang dijadikan sutroh adalah tempat shalat (sajdah) daripada garis karena sajdah tentu saja lebih terlihat orang.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidak sah menggunakan sutroh berupa garis di lantai. Pendapat ini menjadi pendapat ulama Hanafiyah yang terdahulu. Alasannya kenapa tidak sah, karena garis tidak nampak sebagai sutroh dari arah jauh.[24]
Adapun dalil yang jadi pegangan sutroh berupa garis adalah hadits Abu Hurairah,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah meletakkan sesuatu di depannya, jika tidak mendapatkan sesuatu hendaklah menancapkan tongkat, dan jika tidak mendapatkan hendaklah membuat garis. Setelah itu tidak akan membahayakannya apa-apa yang melintas di depannya.” (HR. Ibnu Majah no. 943 dan Ahmad 2/249).
An Nawawi dalam Al Khulashoh (1/520) mengatakan bahwa hadits ini dho’if. Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrijnya terhadap Musnad Ahmad (13/124) mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’iful Jaami’ (569). Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini hasan. Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini, begitu pula Imam Ahmad, Ibnul Madini dan Ad Daruquthni. Al Baihaqi mengatakan bahwa tidak mengapa beramal dengan hadits tersebut.[25] Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menshahihkan hadits ini dalam Majmu’ Fatawanya (11/101). Syaikh Albassam menyatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (2/76).
Jika memang hadits di atas dho’if, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk sutroh berupa garis. Jika hadits tersebut shahih, maka boleh menggunakan sutroh berupa garis sebagaimana pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Albassam.
Perlu diperhatikan bahwa selagi masih ada sutroh yang lain, maka jangan dulu beralih pada sutroh berupa garis. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ada urutan (prioritas) dalam menggunakan sutroh. Urutannya mulai dari dinding atau tiang, kemudian tongkat, kemudian sajdah, lalu terakhir garis. Jika masih ada sutroh sebelumnya, lalu yang dipilih sajdah atau garis, maka tidak mendapatkan keutamaan menggunakan sutroh.[26] Kebanyakan praktek kaum muslimin yang ada, mereka lebih memilih sutroh berupa sajdah atau garis daripada mencari tembok atau tiang sebagai sutroh padahal begitu dekat. Sungguh amat disayangkan, mereka luput dari sunnah yang lebih utama. Wallahu a’lam.
Penutup
Intinya, sutroh amat besar sekali hikmahnya. Menghadap sutroh akan membuat shalat lebih khusyu’ karena orang akan sulit lewat lewat di hadapannya dan pandangan orang yang shalat pun terbatas. Bahkan keutamaan yang lebih besar dari itu semua adalah menghadap sutroh termasuk mengikuti sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hikmah yang terakhir ini tentu lebih utama dari yang lainnya.
Catatan yang patut diingat, janganlah menjadikan masalah sutroh ini sebagai masalah manhaj. Jangan ada yang punya anggapan bahwa orang yang shalat tidak menghadap sutroh atau menghadap garis saja, maka ia bukanlah Ahlus Sunnah. Ingat, pendapat bahwa hukum menghadap sutroh adalah sunnah merupakan pendapat para ulama madzhab, yang jadi pendapat kebanyakan ulama sejak masa silam dan saat ini. Jika demikian, tidak sepantasnya mencela orang lain yang memang lebih memilih pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Semoga jadi renungan berharga.
Demikian sajian yang dapat kami torehkan sebatas pengetahuan kami. Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Finished after ‘Isya on 3 Dzulqo’dah 1431 H, in Sakan 27, KSU, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia
Written by: Muhammad Abduh Tuasikal
(*) Tulisan ini, kami susun sesuai saran guru kami Ustadz Aris Munandar hafizhohullah.


[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Wizarotul Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, 24/177.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 1/171.
[3] Idem.
[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 1/160.
[5] Asy Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, 1422 H, 3/276
[6] Asy Syarhul Mumthi’, 3/277.
[7] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Dar ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 3/80.
[8] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan), 1/94.
[9] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom Bulughul Marom, ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Albassam, Maktabah Al Asadi, cetakan kelima, 1423, 2/58.
[10] Lihat Asy Syarhul Mumthi’ 3/277.
[12] Asy Syarhul Mumthi’, 3/276
[13] Asy Syarhul Mumthi’, 3/277.
[14] Faedah dari beberapa pelajaran Ushul Fiqh.
[15] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/177-178.
[16] Al Mughni, 3/80.
[17] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Al Fathul Lil ‘Alam Al ‘Arobi, 1/182
[18] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama dari fatwa no. 2613, 7/76.
[19] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Ar Riasah Al ‘Amah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 11/196.
[20] Hal ini disepakati oleh para ulama. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/178.
[21] Sebagaimana pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/178-179.
[22] Lihat Al Mughni, 3/82-83.
[23] Lihat Al Mughni, 3/84.
[24] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/180-181.
[25] Lihat Taudhihul Ahkam, 2/76.
[26] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 24/180-181.
=========================================================================

Sumber: https://rumaysho.com/1310-hukum-shalat-menghadap-sutroh.html
, ,